Sejarah kiblat pindah

| Selasa, 03 Februari 2015


Sejarah kiblat pindah

Kiblat atau juga dieja qiblat, merujuk kepada arah Kaabah yang menjadi titik arah sembahyang bagi orang Islam. Pada mulanya, kiblat mengarah ke Baitulmuqaddis atau kini Jerusalem, namun pada tahun 624M diganti menjadi mengarah ke Kaabah di Mekah.

Sembahyang di masjid di Damsyik
Kiblat merupakan perkataan Arab yang merujuk arah apabila seseorang Muslim solat. Asalnya, mengarah ke Baitulmuqaddis atau kini Jerusalem (dan dengan itu dikenali sebagai Pertama dari Dua Kiblat). Pada tahun 624M, semasa penghijrahan Nabi Muhammad SAW di Madinah, arah Kiblat ditukar ke arah Kaabah, dan kekal sehingga kini.
Apabila seseorang Muslim itu mengerjakan solat dari dalam Kaabah, seseorang Muslim boleh menghadap dimana-mana dinding keluar yang terdapat dalam Kaabah semasa solat namun disunatkan untuk solat pada tapak dan arah dimana Nabi Muhammad SAW bersolat di dalam Kaabah, manakala bagi mereka yang berada di luar Kaabah pula, mereka boleh menghadap mana-mana dinding atau penjuru pada binaan Kaabah untuk bersolat kerana pusingan Kaabah itu 360 darjah.
Kiblat, merupakan titik rujukan di Bumi, ke arah Kaabah. Dalam amalan agama Islam, solat mesti menghadap ke arah Kaabah. Perlu diingatkan bahawa seseorang Muslim tidak menyembah Kaabah atau kandungannya, Kaabah hanya merupakan titik rujukan untuk solat.
Kiblat menunjukkan arah terpendek ke Kaabah. Disebabkan Bumi berbentuk seperti bebola, laluan ini membentuk bulatan besar seperti laluan kapal terbang. Lokasi Kaabah (di 21° 25' 24" N, 39° 49' 24" E) boleh ditentukan secara geometri (sfera) untuk menentukan arah Kiblat di mana-mana sahaja di muka Bumi ini.
Hanya satu kes khas wujud: apabila bersolat dalam Kaabah sendiri, seseorang Muslim menghadap ke arah dinding keluar semasa solat.

            Kembali menghadap Baitul Haram (Ka’bah) Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Al-Barra bin ‘Azib radhiyallahu:
قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللهُ ( قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ) فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ وَهُمُ الْيَهُودُ (مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ) فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي صَلاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ
“Pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis (Mesjidil Aqsha di Palestina) selama enam atau tujuh belas bulan. Dan beliau sangat suka jika diperintah menghadap ke arah Ka’bah. Maka Allah menurunkan firman-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ
(Sungguh kami sering melihat mukamu menengadah ke langit). Maka kemudian beliaupun berbalik menghadap Ka’bah. Lalu berkomentarlah orang-orang yang lemah akalnya di antara manusia, yakni orang-orang Yahudi, seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(‘Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dulu mereka berkiblat kepadanya?’ Katakanlah: ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus’).
Ada seorang shahabat yang shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Setelah selesai, pulanglah ia dari masjid dan melewati sekelompok muslimin dari kalangan Anshar yang sedang melakukan shalat ‘Ashar menghadap Baitul Maqdis. Kemudian dia mengatakan bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan beliau telah menghadap ke arah Ka’bah.
Serentak, orang-orang tersebut berpaling menghadap ke arah Ka’bah.’ Permasalahan ini kemudian memicu perdebatan di kalangan orang-orang yang lemah akalnya. Ini seperti yang diterangkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ
“Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah.” (Al-Baqarah: 143)
Dalam perubahan arah kiblat yang tadinya menghadap Baitul Maqdis kemudian bergeser ke arah Ka’bah ini, terkandung hikmah yang sangat besar. Sekaligus juga merupakan ujian bagi kaum muslimin, orang-orang musyrik, Yahudi, dan orang-orang munafiq. Adapun kaum muslimin, mereka akan mengatakan (terhadap semua yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), seperti yang diterangkan Allah:
ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Kami beriman dengannya, semua itu adalah dari sisi Rabb kami.” (Ali ‘Imran: 7)
Merekalah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang berat bagi mereka. Adapun orang-orang musyrik, mereka akan berkata:
“Sebagaimana dia telah kembali kepada kiblat kita, boleh jadi nanti dia juga akan kembali kepada agama kita. Dan sesuatu yang dia kembali kepadanya tentulah suatu kebenaran.”
Sedangkan orang-orang Yahudi mengatakan: “Dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam) telah menyelisihi kiblat para Nabi sebelumnya. Kalau dia memang seorang Nabi, tentulah dia shalat menghadap ke arah kiblat para Nabi.” Dan orang-orang munafiq berkata:
“Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) tidak tahu ke mana dia harus menghadap. Jika yang pertama itu yang benar, berarti dia telah meninggalkannya. Dan seandainya yang kedua yang benar, berarti selama ini dia di atas kebatilan.”
Ketika permasalahan kiblat ini menjadi persoalan yang besar, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan sebelumnya masalah nasikh mansukh dan kodrat-Nya terhadap hal tersebut. Dikatakan oleh para ulama bahwa perpindahan kiblat ini merupakan masalah nasikh mansukh pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, berkaitan dengan perpindahan kiblat ini, dalam tafsirnya (hal. 70) menerangkan:
“Allah Ta’ala menerangkan akan munculnya ejekan dari orang-orang yang kurang akalnya, mereka yang tidak mengerti kemaslahatan diri mereka sendiri bahkan menelantarkan dan menjualnya dengan harga jual yang sangat rendah. Yaitu orang-orang Yahudi dan Nashara serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam menentang hukum-hukum dan syari’at Allah … “
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, sudah tentu orang-orang yang kurang akalnya ini akan mempertanyakan:
مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمِ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا
(“Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”). Yakni, apa yang menyebabkan mereka berpindah dari Baitul Maqdis? Sikap seperti ini merupakan sikap tidak setuju (protes) terhadap ketentuan Allah, syariat, karunia dan kebaikan-Nya. Allah menghibur Rasul-Nya dan kaum mukminin. Dia menjelaskan bahwa hal itu pasti terjadi dan munculnya justru datang dari orang-orang yang kurang akalnya.
Sehingga janganlah memperdulikan mereka. Akan tetapi Allah tidak membiarkan syubhat (berupa pertanyaan-pertanyaan) yang muncul sehubungan dengan perpindahan tersebut. Allah menguraikan dan membantah syubhat tersebut dengan menyatakan:
قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Katakanlah (Ya Muhammad, sebagai jawaban atas komentar mereka). Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 142)
Artinya, jika timur dan barat itu jelas-jelas milik Allah, tidak ada satu arahpun yang keluar dari kekuasaan dan kepemilikan Allah. Di samping itu, Dia pula yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dan dari-Nya pula, hidayah untuk menghadap kiblat yang merupakan peninggalan dari ajaran bapak kalian Ibrahim.
Maka atas dasar apa orang-orang yang kurang akalnya itu mencemooh kalian ketika kalian berpindah menghadap kiblat yang jelas-jelas berada di bawah kekuasaan dan kepemilikan Allah? Sehingga, hal ini seharusnya mendorong terwujudnya sikap tunduk menerima perintah Allah meski hanya dengan berita atau dalil ini saja…
Artinya, karena semua ini adalah hidayah dan kebaikan Allah kepada kalian, maka mereka yang memprotes atau mencemooh kalian itu berarti menentang turunnya karunia dan kebaikan Allah kepada kalian karena dengki dan dendam terhadap kalian.” Dan semua ini ditetapkan Allah adalah untuk menyempurnakan nikmat-Nya kepada Rasul dan kaum mukminin.

Al-Baqarah 177 : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat ini menjelaskan bahwa yang dinamakan kebajikan atau perbuatan baik itu bukan sekedar kamu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Waktu itu di masa Rasulullah SAW kaum muslim beribadah, sholat, menghadap ke timut ketika kiblatnya di Palestina. Kemudian arah kiblat dipindah ke barat menghadap Ka’bah.

Dengan ayat diatas Allah SWT menjelaskan bahwa perbedaan kiblat itu bukan menjadi penentu kebaikan. Bukan menghadap kiblatnya yang menjadi kamu itu baik atau buruk. Karena pada hakekatnya, kemanapun kamu menghadap kamu tetap akan ketemu wajah Allah. Fatsamma wajhallah, sebagaimana firman-Nya.

Dalam al qur'an:

 Al-Baqarah 115 :. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Sekalipun kita shalat menghadap ke barat ke ka’bah tapi kalau sekedar formalitas saja, sedang buah daripada sholat itu tidak tercermin dalam kehidupan, ya tidak ada artinya. Orang yang mendirikan sholat itu tidak sekedar menghadapkan wajahnya atau menghadapkan dirinya ke Ka’bah baitullah. Memang dhahirnya shalat seperti itu, dengan gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan tertentu. Kalau sekedar melaksanakan dhahirnya, itu gampang. Sedang yang berat itu adalah, sebagaimana firman Allah :

Al-Baqarah 45 : Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,

Al-Baqarah 46 : (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.  (bersambung)
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kiblat

maaf jika ada kesalahan kesalahan brasal dari saya dan kesempurnaan hanya milik allah."jika aku terbelok dari kebenaran maka lurus kanlah aku"
wassalammuaalaikum warahmatuwllahi wabarokatuh

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲